Demam  Berdarah  Dengue (DBD)  merupakan  salah  satu  masalah kesehatan di Indonesia yang prevalensinya relatif meningkat dengan tingkat penyebaran yang luas. Penyakit ini umumnya disebabkan oleh virus dengue Aedes aegypti, Aedes scutellaris, dan Aedes albopictus, namun yang menjadi vektor utama penyakit DBD adalah Aedes aegypti (Panjaitan, 2021; Pohan, 2014)

Data yang diperoleh dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia sampai dengan bulan November 2020 ditemui kasus DBD di Indonesia sebanyak 95.893 yang tersebar di 472 kabupaten/kota di 34 provinsi. Berdasarkan penggolongan jenis kelamin diperoleh bahwa laki-laki  (53,11%)  lebih   banyak  terinfeksi DBD dibandingkan perempuan (46,89%). Berdasarkan kategori usia, 3 urutan usia tertinggi  yang paling  sering  terkena  DBD  yaitu usia  14 – 44  tahun (37,45%), usia 5 – 14 tahun (33,97%) dan usia 1 – 4 tahun (14,88%). Adapun prevalensi kematian akibat DBD paling banyak ditemui pada usia 5 – 14 tahun (34,13%) dan diikuti oleh usia 1 – 4 tahun (28,57%) (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2020)

Kejadian DBD yang terjadi di Bali merupakan angka tertinggi di Indonesia yang tercatat mengalami peningkatan pada periode tahun 2010 – 2016 dan mengalami penurunan pada tahun 2017 dan 2018. Adapun ledakan kasus DBD terjadi pada tahun 2015 dan 2016 dimana setiap 100.000 penduduk ditemukan 125-200 kasus DBD baru. Secara keseluruhan kasus DBD baru yang terlaporkan sejak tahun 2010 sampai dengan 2018 sejumlah 55.215 kasus, dengan rata – rata pada setiap 100.000 penduduk terdapat 195 kasus baru. Dari 9 kabupaten yang ada di wilayah Provinsi Bali, Denpasar dan Badung seringkali memiliki jumlah kejadian per 100.000 populasi tertinggi (Badan Pusat Statistik Indonesia, 2017).

Penggunaan antinyamuk merupakan tindakan yang praktis dan ekonomis untuk mencegah penyakit-penyakit yang dibawa oleh nyamuk ke manusia. Namun, kebanyakan formula produk antinyamuk yang beredar di pasaran mengandung DEET (N,N-dietil-meta-toluamid). DEET menempel pada kulit selama 8 jam (tidak larut dalam air) serta terserap secara sistemik ke tubuh melalui kulit menuju sirkulasi darah, hanya 10-15% yang dapat terbuang melalui urin. Penggunaan DEET dengan konsentrasi yang tinggi dilaporkan banyak memiliki efek samping seperti gejala hipersensitifitas, iritasi dan urtikaria. Penggunaan yang berulang dan dalam jangka waktu lama, absorbsi melalui kulit dapat menyebabkan keracunan sistemik serta mengganggu kualitas dan keseimbangan lingkungan hidup akibat adanya residu, timbulnya resistensi pada hewan sasaran (Novizan, 2002). Telah dilakukan Pengabdian Masyarakat mengenai Sosialisasi Pencegahan Demam Berdarah dan Edukasi Manfaat Sediaan Spray Antinyamuk dari Kulit Jeruk Nipis sebagai Repellent kepada Siswa-Siswi SMP Saraswati 1 Denpasar pada hari Sabtu Tanggal 13 Juni 2024 pukul 09.00 WITA, di SMP Saraswati 1 Denpasar. Ketua Pelaksana (apt. I Gusti Agung Ayu Kusuma Wardani, S.Farm., M.Si.) sekaligus sebagai pembicara dalam kegiatan pengabdian masyarakat melakukan sosialisasi pencegahan demam berdarah dan edukasi manfaat sediaan spray antinyamuk sebagai repellentberbahan dasar herbal dari kulit jeruk nipis. Kegiatan Pengabdian masyarakat ini melibatkan tim dosen dari Fakultas Farmasi Universitas Mahasaraswati Denpasar diantaranya Dr. apt. Ketut Agus Adrianta, S.Farm., M.biomed, apt. Ni Nyoman Wahyu Udayani, S.Farm., M.Sc. dan apt. Ni Nyoman Yudianti Mendra, M.Clin.Pharm. Selain itu, dalam pengabdian ini juga melibatkan mahasiswa dari Prodi S1 Farmasi dan D3 Farmasi dengan total 4 mahasiswa. Kegiatan pengabdian juga diisi dengan simulasi pembuatan spray antinyamuk. Selama kegiatan berlangsung, peserta yang merupakan siswa-siswi SMP sangat antusias mengikuti kegiatan. Peserta berharap kegiatan seperti ini dapat berlanjut dengan produk kesehatan lainnya.